Jumat, 25 November 2011

Yang Tak Pernah Berlalu

Matahari belum juga muncul, namun aku sudah sibuk bersiap-siap. Memiliki tempat tinggal di Bogor namun menuntut ilmu di ibukota membuatku terpaksa menjalani rutinitas seperti ini, pergi ke stasiun kereta saat sebagian besar orang masih terlelap. Seperti biasa, aku menggunakan Commuter Line dan berhenti di stasiun Manggarai sebelum akhirnya sampai di kampus.

Dengan novel berjudul “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin” di tangan kiri, aku berusaha mencari tempat duduk yang cukup nyaman untuk membaca. Untunglah, kereta belum begitu penuh pagi itu.

Belum sempat aku menikmati nyamannya tempat duduk, seorang ibu masuk ke dalam kereta. Tidak sendiri, ia membawa serta kedua anaknya yang masih teramat kecil. Spontan saja, aku berdiri mempersilakan mereka untuk memakai bangkuku, sementara aku berdiri di dekat mereka. Beruntung, ada penumpang yang turun sehingga aku bisa duduk kembali.

Namun, memang dasar hari sialku. Tidak lama kemudian, datang lagi seorang ibu yang menggandeng tangan mungil buah hatinya. Lagi-lagi aku berdiri, membiarkan mereka memakai bangku yang belum lama kududuki.

“Ibu duduk sini depan kakak” kata si anak kepada ibunya yang berdiri di dekatnya.

“Udah ga apa-apa ibu berdiri aja, kakak bobo gih”

“Ih ga mau, kakak mau dipangku ibu”

Diam-diam aku mulai memperhatikan mereka. Sang ibu, tanpa pikir panjang, langsung duduk memangku buah hatinya. Saat inilah aku mulai sadar, bahwa dua ibu yang menempati tempat dudukku sebelumnya telah mengajarkanku banyak hal. Tentu saja, tentang bagaimana kasih seorang ibu bagi kita, anaknya.

Aku melirik sekilas novel yang kugenggam. Entah kebetulan atau tidak, novel yang kubaca juga menceritakan seorang ibu yang berjuang seorang diri, demi hidupnya dan anak-anaknya. Hal ini sungguh teramat menamparku, memori-memori masa lalu tentang perlakuan tidak hormatku pada ibu mulai bermunculan satu persatu. Membuatku ingin menangis, tapi tak bisa. Pikiran rasionalku terlalu enggan untuk melakukannya di dalam kereta. Aku hanya bisa merenung, dengan sejuta pertanyaan tentang ibu yang masih terus membayang.


Tak lama kemudian, sampailah aku di stasiun Manggarai. Setelah beberapa menit terlewat di dalam kopaja, akhirnya aku menyelesaikan perjalanan jauh yang melelahkan ini. Ya, akhirnya aku sampai di kampus.

“Duh, mana yang lain? Pasti terlambat lagi,” gumamku sebal setelah tidak dapat menemukan teman-temanku. Sambil menunggu teman-teman yang lain datang, aku memutuskan untuk duduk di sebuah kafe kecil di dekat kampus dan meneruskan membaca. Saat itu aku sampai pada bagian dimana sang ibu akan pergi untuk selamanya, mengucapkan kata-kata terakhir pada putri sulungnya

“Mendekatlah, Tania. Maukah kau mendengar sebuah cerita?” Aku sudah mengerti kemana arah tulisan ini akan berlanjut. Namun, sambil megeluarkan saputangan, aku lanjut membaca.

“Dengarkan Ibu, sayang…dulu sekali..pernah ada dua anak kecil..yang satu perempuan..adiknya laki-laki…mereka yang baik, pintar, penurut, dan berbakti…Sayang kehidupan kadang tidak selalu baik dengan orang-orang baik..”

“Ayah mereka meninggal saat mereka masih berusia delapan dan tiga tahun..dan ibunya tak memiliki apa-apa selain kepal tangan yang lemah…Mereka terpaksa hidup susah….tetapi kedua anak itu tetap segar…Tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dengan segala kepolosannya..”


“Tiga tahun lamanya mereka terhinakan dalam kehidupannya..Dan saat kehidupan sedikit berbaik hati kepada mereka…Semuanya berubah lagi! Kehidupan amat kejam…”


“Lima tahun setelah kematian ayah mereka, ibunya juga meninggal…Tepat ketika janji masa depan yang baik itu tiba…Meninggalkan mereka benar-benar endirian sekarang…Meninggalkan mereka benar-benar sendirian sekarang..Meninggalkan anak-anak yang seharusnya lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain..Bukan bekerja dan menanggung beban hidup orang dewasa..Bukan menanggung beban pikiran yang belum tiba masanya..”


“Tetapi anak-anak itu bukan anak-anak biasa, Tania…mereka bisa melanjutkan hidup mereka dengan tabah, tegar, dan membanggakan. Mereka tumbuh menjadi orang-orang yang berguna..Membanggakan..”

Aku benar-benar ingin menangis. Tetapi tetap saja, pikiran rasional melarangku untuk melakukannya. Dan aku melanjutkan membaca...

“Tahukah kau, Tania…Gadis cantik itu adalah kau…Ibu bermimpi tadi malam melihat kau sungguh tumbuh dewasa..Melihat kau cantik sekali dengan rambut panjang hitam legam…Kau menatap Ibu sambil tersenyum lebar, menatap kehidupan ini dengan yakin..Begitu membanggakan..”

Saat ini aku sudah tidak peduli dengan apapun. Air mataku jatuh perlahan-lahan, hatiku akhirnya menang melawan logika. Kuusap mataku yang sembab dengan saputangan, berusaha untuk tidak terlihat menangis di depan orang lain. Betapa aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga hari ini, hanya dari contoh nyata yang sederhana. Bagaimana ibu mengasihi kita, bahkan lebih dari dirinya sendiri. Aku bergegas memasukkan novel dan saputangan yang sedikit basah ke dalam tas, saat salah satu temanku terlihat melambai dari jauh.


“Hei, udah lama? Maaf ya telat, tadi macet banget! Eh, kenapa mata lo? Kok merah gitu?”

Aku hanya tersenyum. “Ngga apa-apa, tadi sempet kemasukan debu. Yuk masuk kelas, sebentar lagi masuk.


Kami bergegas menuju kelas sambil mengobrol heboh. Dalam hati aku berkata pada diriku sendiri, bahwa nanti ia harus tahu apa yang baru saja terjadi. Tentang aku dan ibu, tentang novel itu, dan tentang kasih yang tak pernah berlalu.


Terinspirasi oleh Ibuku, dan novelku “Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin” oleh Tere-Liye pada tahun 2011. 


Created by: Nelly Hassani Rachmi

Edited by: Inez Gabrina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Find this blog

Followers