![]() |
sumber: pesatnews.com |
JAKARTA - Pada tahun 2014, Indonesia akan menghadapi Pemilu (Pemilihan Umum). Pemilu akan dilaksanakan pada 9 April untuk Pemilu Legislatif (Pileg) dan 9 Juli untuk Pemilu Presiden (Pilpres). Sisa dua hari lagi, warga menggunakan hak pilihnya untuk menentukan siapa yang pantas untuk mendapatkan posisi DPR, DPD, ataupun DPRD. Perempuan turut mencalonkan dirinya untuk turun andil dalam menata Indonesia.
Menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hadar Gumis Gumay,
seperti yang dikutip dari antaranews.com (7/4), pada Pemilu 2009, caleg
perempuan sebesar 30 persen. Jumlahnya meningkat menjadi 37 persen pada tahun
ini. Sebanyak 6.067 caleg akan memperebutkan kursi DPR RI, dan sebanyak 2.467
diantaranya merupakan caleg perempuan. Peningkatan jumlah tersebut tentunya membuahkan
harapan, agar hak dan ruang bagi perempuan dalam berpolitik sama dengan jumlah
hak dan ruang bagi laki-laki.
Adanya peluang bagi perempuan, bukan hanya semata-mata untuk memenuhi kuota
30 persen sebagai persyaratan. Tetapi, beberapa dari mereka maju dalam Pileg
untuk ikut memperjuangkan perbaikan nasib perempuan. Niat ini berjalan seirama
dengan beberapa kasus yang dialami oleh perempuan Indonesia. Perempuan
Indonesia rentan mengalami perilaku kekerasan, streotyping, marginalisasi, beban
ganda perempuan, bahkan rentan mengalami human
trafficking dan HIV/AIDS. Seolah-olah perempuan tidak berdaya dibanding
laki-laki.
Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda
Gumelar, seperti yang dilansir dari republika.co.id (7/4), terdapat dua alasan
perempuan penting berpartisipasi di parlemen. Pertama, hal tersebut merupakan hak politik kaum perempuan. Setiap
warga negara mempunyai hak politik yang sama untuk duduk di parlemen, baik
laki-laki maupun perempuan. Kedua,
dengan adanya perempuan di parlemen diharapkan mereka bisa memperjuangkan isu
yang berkaitan dengan kepentingan perempuan dan anak dengan lebih maksimal.
Pada umumnya, caleg perempuan dipandang kurang berkualitas dibandingkan
dengan caleg laki-laki. Bahkan, menurut Linda dalam wawancaranya dengan
harianterbit.com, sebagian parpol juga tidak serius memilih caleg perempuan.
Bahkan, masih ada parpol yang memanfaatkan caleg perempuan sebagai pendulang
suara dan tidak melihat dari kapasitasnya. Padahal banyak caleg perempuan yang
mumpuni, punya kualitas dan integritas. Hal ini bisa dinilai, bahwa dalam dunia
politik, perempuan bisa dikatakan sebagai ‘alat’ untuk memanfaatkan situasi
agar unggul dalam persaingan.
Contoh pada faktanya adalah parpol jarang menempatkan perempuan di urutan
atas. Seperti hasil survei yang dibuat oleh Koalisi Perempuan Indonesia (KPI),
menyebutkan kepada republika.co.id, bahwa 636 caleg perempuan yang disurvei,
hanya 25,7 persen saja yang menempati urutan 1 sampai 3. Berarti, terdapat 74,3
persen caleg perempuan tidak mendapatkan urutan atas. Tindakan ini bisa
dikatakan sebagai perilaku diskriminasi, karena gender menentukan urutan nomor dalam kertas pemilih. Seakan-akan
urutan nomor bagian bawah kurang berkualitas, sedangkan yang mendapatkan urutan
bagian atas memiliki kualitas yang lebih ‘wah’.
Sebagai warga negara Indonesia yang baik, menggunakan hak pilih adalah
awal menaruh harapan kepada para caleg agar berjalan seiringan dengan tujuan. Jika
tujuan Anda memilih untuk meng-sejahterakan kalangan perempuan, maka caleg
perempuan bisa diandalkan untuk mewakili suara saat di parlemen nanti. Dari
tindakan ini, pelan-pelan perilaku streotyping dari warga Indonesia kepada
kualitas perempuan yang dinilai negatif bisa saja menurun. Hal ini juga akan
menimbulkan porsi hak dan ruang perempuan sama dengan porsi bagi laki-laki di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar