Jumat, 06 Mei 2011

My Big Dream

Siang hari yang panas, Clara duduk sendiri memegang pensil dan buku sketsanya dan memulai menggambar. Alhasil, sketsa yang dibuatnya sangat bagus tidak heran kalau mama, adiknya, bahkan teman-temannya selalu meminta tolong untuk membuat sketsa busana yang akan dikenakan. Walaupun ia pemula dan karyanya tidak sehebat Anne Avantie, Adjie Notonegoro, bahkan Susan Budihardjo menurutnya, kemampuan dan kemauan yang ia miliki akan terus berkembang. Clara akan terus menggali ilmu menggambarnya, dari sketsa yang asal-asal hingga sketsa di dalam bukunya terbilang cukup meningkat. Clara tidak hanya lihai pada buku dan pensilnya saja tetapi ia lihai juga di dalam dapur. Bahkan, ia mengajari teman-temannya memasak dan membuat kue ketika liburan. Suatu hari ia membuat kue ulang tahun untuk sahabatnya dengan seorang diri. Ia sangat sibuk hingga senja datang, dapur berantakan dan aroma kue tercium hingga ke tetangganya.
“Kamu daritadi ngegambar ya? kirain mama kamu lagi tidur.”
“Hah? ga ko, iya daritadi ngegambar doang.” Jawab Clara singkat.
“Oh iya, kamu sebentar lagi kan kuliah, kamu mau masuk mana?” Tanya mama sambil duduk di tempat tidur milik Clara.
“Pengennya sih masuk design fashion ma tapi, kayanya mahal banget deh.” Jawab Clara dengan tampang yang putus asa.
“Ya udah kamu gambil jurusan itu aja, masalah biaya itu belakangan yang penting kamu tahun ini kuliah. Kalau kamu ga kuliah kamu harus kursus inggris ya. Emang tempatnya di mana?”
“Ga tau deh, nanti aku cari info-infonya deh. Jadi boleh nih ma?” Tanya Clara dengan tampang gembira.
“Ya kalau kamu mau kenapa ga? nanti mama langsung ke tempatnya aja mau ngeliat-liat juga.”
“Oke deh mom.” kata Clara sambil tersenyum kepada mamanya.
Ketika usai menggambar Clara dengan segera menyalakan laptopnya untuk mencari info demi cita-cita besarnya itu terwujud. Ia pun langsung mendapatkan contact personnya beserta alamat yang harus dituju. Dengan penuh semangat Clara langsung memanggil mamanya.
“Oh alamatnya disitu, mama tahu ko semoga aja minggu ini bisa kesana kalau mama ga sibuk ya.” kata mamanya sambil mencatat alamat di selembar kertas.
“Asik, haha makasih ya ma.” kata Clara dengan ceria.
 “Ada apaan sih?” Tanya papanya.
“Ini pa aku lagi nyari-nyari info design fashion tempatnya di mana.” Jawab Clara yang sedang sibuk dengan laptonya.
“Kamu mau ngambil design fashion?” Tanya papanya heran.


Dengan wajah yang mulai mengerut Clara pun bertanya, “Kenapa emangnya pa?”
“Kenapa kamu ga masuk jurusan yang pasti aja kaya agrobisnis, management, atau langsung aja masuk design interior.”
“Ih ga mau ah, otak aku udh mumet tau ga pa nerima ilmu yang berat-berat”
“Ya sudah terserah kamu aja.” kata papanya dengan nada pelan.
Clara berpikir apakah papanya tidak setuju denga kemauannya itu, dan kenapa papa selalu tidak sependapat dengan dirinya bahkan dengan mamanya.
“Terserah kalau kamu mau jadi designer fashion tapi papa cuma sarankan kamu masuk interior aja, di dunia fashion itu pergaulannya ga cocok sama kamu papa cuma takut kamu berubah drastis.”
Clara memikirkan kata-kata yang dilontaran papanya, entah kenapa Clara langsung putus asa dan takut terjadi kepada dirinya. Dengan sangat terpaksa Clara menyetujui kemauan papanya.
“Ya udah liat nanti aja deh pa, aku pikirin dulu.” Jawab Clara dengan singkat.
“Loh ko papa nyuruh Clara masuk interior sih? Bakatnya dia kan di fashion.” Tanya mama dengan sewot.
“Ya kan papa cuma nyaranin aja, papa ga mau kalau anak papa jadi berubah drastis gara-gara lingkungannya yang penuh fashion. Lihat aja banyak anak muda sekarang yang tergila-gila ama fashion sampai ke luar negeri asal barang yang mereka mau ada di tangan mereka. Mereka semua tuh takabur, rela menghamburkanuang demi satu atau dua barang yang branded-branded.” Kata papa panjang lebar.
“Ye papanya aja yang negative thinking mikirnya kaya gitu, itu kan kembali lagi kepada individunya, lagian kan Clara itu bukan yang mengejar-ngejar fashion tapi kan Clara itu tugasnya menciptakan fashion pa.” kata mama dengan lugas.
“Udah ah malah berantem, ya udah aku ikutin kata papa aja deh. Terserah mau bilang apa yang penting nurut.” Kata Clara dengan tegas.

Tidak disengaja atau diketahui oleh Clara tiba-tiba seseorang masuk ke dalam kelasnya dan mempresentasikan universitas yang ia tempati. Universitas swasta di Jakarta itu terbilang sangat bagus dan jurusan yang dicari oleh Clara ada disitu.
“Wah, ada design interior.” Kata Clara spontan saat melihat brosurnya.
“Loh, lu bukannya maunya design fashion ya?” Tanya Arimbi salah satu sahabat Clara.
“Tau nih jadi belok minatnya, putus asa gara-gara omongan bokap gue.” Jawab Clara dengan tampang kesal.
“Sayang banget tuh hobi lu ga dipakai ra, kenapa ga dikembangin coba?” Tanya Fitri salah satu sahabat Clara juga.
“Yah mau diapain bokap gue nyuruhnya interior mau ga mau harus nurut deh gue fit”
“Semoga aja cocok ya sesuai ama nasehat bokap lu.” Kata Dian.
“Amin, makasih ya semuanya bikin gue semangat. Pulang-pulang gue harus ngomong ke ortu gue nih.”
Sesampainya dirumah Clara langsung memberitahu kedua orang tuanya alhasil, Clara mendapat respon.
“Ya udah mama sih terserah kamu aja maunya gimana. turutin aja kemauan papa kamu. Tapi mama sih lebih ngerespon kamu di bidang fashion.”
“Aku ngambil interior aja deh mah lagian universitas yang ini juga ga kalah bagusnya ko chanelnya banyak jadi kalo dapet beasiswa bisa dikirim ke luar negeri loh.” Kata Clara yang menyemangati dirinya.
“Kamu nanti ngomongin ke papa aja kalo udah fix besok beli formulirnya.” Kata mamanya sambil mengusap rambut Clara yang ikal dan panjang itu.
“Ma tapi aku pengennya fashion ma bukan interior, kenapa sih papa tuh ga pernah ngerti kemauan aku.” Kesal Clara.
“Mungkin omongan papa kamu tuh ada benarnya juga ra, udah kamu turutin aja kemauan papa. Kita coba dulu kalo emang ga keterima ya bidang itu emang ga cocok buat kamu.”

Esok hari setelah bel berbunyi, terlihat Clara sedang berjalan di koridor sekolah menuju ruang BK untuk membeli formuir.
“Bu, maaf ganggu aku mau beli formulir universitas yang kemren itu loh.” kata Clara singkat.
“Oh itu, sebentar ibu ambilikan dulu, kamu isi data dulu ya di sini” Jawab bu guru sambil memberi pulpen dan buku catatan. “Memangnya kamu mau masuk jurusan apa Clara?”
“Pengennya sih design fashion bu, tapi disuruhnya ngambil design interior.” Jawab Clara yang sedang menulis.
“Wah bagus tuh ra, kamu masuk interior aja kaya anak ibu masuk jurusan itu loh. Daripada fashion nanti kerjanya ngejahit mulu dan ngurusin kain mulu haha.” Gurau ibu guru sehingga membuat Clara kesal kepadanya.
“So tau banget sih ini guru, dasar orang awam ga tau apa-apa maen ngomong sembarangan dasar ndeso. Ga tau apa designer tuh duitnya banyak” kata Clara dalam hati sambil tersenyum sinis kepada gurunya itu.
“Ini ya formulirnya, semoga keterima ya Clara.” Clara tersenyum dan langsung keluar dari ruangan itu.
Sesampainya di rumah Clara membuka dan membaca formulirnya itu dan ternyata, ketika membaca biaya yang harus dikeluarkan Clara sedikit terkejut karena biaya yang harus dikeluarkan tidaklah sedikit.
“Clara, gimana udah beli formulirnya nak?” tanya papanya di luar kamar.
“Iya udah ko pa ini nih formuirnya, ternyata mahal pa.” kata Clara sambil keluar dari kamar
“Loh ko kamu ga ngasitau papa sebelumnya sih tentang biayanya?” tanya papa heran.
“Mana aku tau papa, kan papa yang mau aku masuk sana namanya juga sekolah tekhnik pa kan mahal juga.” Sewot Clara.
“Papa sih buru-buru ngambil keputusan kan sayang formulirnya udah beli ternyata respon papa gitu.” Kata mama.
“Jadi, intinya aku isi ga nih formulirnya?” Tanya Clara yang mulai kesal.
“Kamu daftar aja dulu masalah uang itu belakangan daripada formulirnya ga dipakai kan sayang udah beli.” kata mama yang menyemangati Clara dan akhirnya Clara pun tersenyum.


Hari ini Clara yang ditemani mamanya ke universitas itu untuk mengikuti tes dengan rasa deg-degan membuat tangan Clara berkeringat.
“Semoga aja gue ga diterima gue ga mau masuk sini orang-orangnya kelihatan sombong banget, mau tes aja make high heels lu pikir mau pentas, lagian kan gue minatnya fashion ogah deh gue ketemu matematika lagi disini bisa pecah otak gue” kata Clara dalam hati yang heran melihat anak-anak sebayanya yang dandan berlebihan. Teknologi cangih memang langsung bisa mengubah semuanya, mengubah orang biasa jadi orang sombong. Dengan segala cara yang ditempuh untuk mendapatkan gadget-gadget baru dan trendi. Tidak heran, anak sd aja udah punya blackberry, iphone bahkan ipad udah dikuasain.
 “Heh kamu mikirin apa sih?” tanya mama.
“Hah? ga ada apa-apa ko cuma deg-degan aja.” jawab Clara terkejut.
“Udah kamu ga usah dipikirin, kamu fokus aja ngejawab soal-soalnya.”
“Iya mah, ya udah aku masuk dulu ya udah di panggil tuh.”
Tes pun dimulai, di pandangan Clara melihat sistem teknologi universitas ini memang beda dengan biasanya. Biasanya tes dilakukan di atas selembar kertas namun kali ini,  lewat komputer.
“Waw, keren banget nih sekolah tapi tetep aja gue ga mau masuk sini.” Kata Clara dalam hati sambil memperhatikan senior yang ada didepan menerangkan peraturan dan sistem permainannya. Clara mengerjakan semampunya walaupun dia tidak ingin masuk universitas ini tapi, ia harus mengerjakan soal-soal dengan kemampuannya untuk menujukkan dia tidak hanya lihai dalam satu bidang namun beberapa bidang akan dia kuasai. Ketika semua soal-soal sudah terjawab, Clara diminta meggambarkan gambar perspektif atau biasa disebut dengan gambar tiga demensi. Clara harus meggambarkan ruangan dokter anak yang didalamnya terdapat kursi tunggu, beberapa poster-poster binatang, dan ditengah-tengahnya terdaat banyak mainan anak-anak, serta beberapa orang anak yang asik bermain. Pensil pun diambil dan Clara memulai menggambar semampunya, ia tidak terlalu mengerti bagaimana cara menggambar jenis tiga dimensi ini agar kelihatan lebih nyata dan hasilnya “waw”. Ia tidak memikirkan ia mampu atau tidaknya yang jelas ia ingin design fashion bukan interior dan ia tidak ingin berada disini di lingkungan orang-orang sombong. Menurutnya, ia tidak cocok dengan lingkungan ini. Saat sesekali ia menoleh ke samping ataupun ke belakang ia melihat teman-temannya serius menggambar dan gambaran mereka lebih bagus daripada dirinya sendiri terkecuali, teman yang ada didepannya ia hanya menggambar dengan asal tidak mengandung unsure seni sedikit pun kata Clara. Akhirnya tes Clara selesai ia pun menarik napas dan mengumpulkan kertasnya.

Tiga hari kemudian adalah hari pengumuman diterima atau tidaknya. Hari itu pun datang Clara sangat cemas, bukan cemas karena takut tidak diterima tetapi takut ia akan diterima. Di sekolahnya tidak ada kabar melalui guru bahkan pesan singkat yang memberitahu ia diterima. Saat di rumah pun kedua orang tua Clara tidak mendapat kabar dari pihak unversitas. Papanya mulai cemas sedangkan mamanya hanya duduk santai sambil menonton televise. Clara mulai lega dan tersenyum,  “Akhirnya gue ga diterima,  pilihan pertama itu memang paling top. Hobi dan minat yang gue punya harus gue kembangin  dan gue asah terus buat ngebuktiin ke orang tua gue kalo kemampuan gue bukan di bidang interior atau yang lain melainkan, minat gue menjadi designer fashion  bak Anne Avantie inspirasi gue. Gue akan sehebat beliau, gue akan setakjub beliau, dan gue akan  mencintai pekerjaan gue selama hidup  gue.” kata Clara dalam  hati sambil tersenyum. “Sekecil apa pun hobi yang  gue punya dan sekecil apa  pun hal yang gue senangi gue akan di pihak itu selama gue mampu dan selama langkah gue mengarah kesana” kata Clara sekali lagi dalam hati.
               

Cerpen ini di buat oleh Nelly Hassani Rachmi untuk diterbitkan oleh majalah Go Girl, semoga di terbitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Find this blog

Followers